Pages

Wednesday, September 23, 2015

Matahari Senja

Menghitung tiap senja bersamamu
Entah berapa lama lagi batin ini terekan
Entah berapa banyak lagi luka yang ditorehkan
Entah berapa banyak air mata lagi yang akan jatuh
Entah berapa banyak lagi harapan yang pergi menguap
Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan.

Sungguh....

Aku tidak membutuhkan apa-apa darimu
Melihat kehadiranmu saja, aku sudah bahagia
Cukup dengan kehadiranmu
Meski tidak ada hati yang kau bawa bersama kehadiranmu.

Dingin....

Tatapan itu lagi
Tatapan membunuh

Pembicaraan kita bukan hanya dirundung mendung
Bukan hanya dirundung kegelapan
Bukan hanya dilanda badai

Pembicaraan ini berdarah

Terlalu banyak hati yang terluka
Terlalu banyak batin yang tersayat

Topengmu...
Jubahmu...

Langit senja selalu menenangkan
Namun kali ini Matahari Senja itu nampaknya terlalu lama memaksa untuk bertahan ditempatnya

Senja yang suram,

Senja yang tiada habis

-Matahari Senja-


 Inspired by: Trlogi Jingga dan Senja 



Emir Love Story! Part 39

"Are you okay, Van?" sebuah suara rendah terdengar dari balik punggung Vania. Siapa lai kalau bukan Emir? Laki-laki yang selalu dia anggap spesial, namun tidak dengan Emir yang hanya memandang Vania hanya sebagai adik nya.
"Aku cuma inget sama Ayah kak," bohong. Vania berbohong untuk kali ini. Sekarang dia hanya ingin Emir melihatnya sebagai seorang wanita, bukan hanya sebagai adik nya. Dia meneteskan air matanya setiap mengingat tatapan Emir ke Karin, dan juga sebaliknya. Tatapan yang selalu ia ingin dapatkan dari Emir tapi sayangnya sampai sekarang harapannya hanya sebuah angan yang tidak mungkin dia bisa raih.
***
Sialan sialan sialan.

Emir menatap adegan matanya dengan tatapan nyalang. Berani-beraninya dia memeluk perempuannya. Ya, Karin miliknya.

Vania masih menangis di dalam pelukan Emir. Dia ingin sekali merebut gadisnya itu dari dekapan laki-laki brengsek itu tapi di sisi lain dia tidak bisa melepaskan Vania begitu saja. Vania sudah seperti adiknya sendiri, meskipun Emir tahu Vania mempunya perasaan lebih kepadanya. Dia harus bergerak secepatnya. Harus.

Emir melepaskan pelukannya dari Vania menatap ke dalam mata Vania yang masih memerah bekas tangisannya tadi.

"Van, udah ya?" bujuk Emir. Dengan perlahan Vania melepaskan pelukanya dari Emir.

Emir mengedarkan pandangannya lagi tapi gadisnya tidak terlihat.

Oh, sialan.

"Emir, buset dah dicariin dari tadi" panggilan Raka yang terdengar panik, membuat Emir menoleh cepat.

"Kenapa sih?"

"Karin pingsan. Buruan ke mobil!"

Dengan cepat Emir langsung berlari ke arah parkiran. Melihat Karin yang terkulai lemas di mobil membuat dirinya diselubungi perasaan bersalah.

Saat Emir ingin mendekat ke Karin, Fino menarik tangan Emir dan dibawanya ke tempat yang lebih sepi. Perasaan kagetnya dengan cepat digantikan oleh emosi yang meledak-ledak.

"Sialan! Lo gila atau apa? Gue mau liat kondisi Karin!" dengan nafas yang memburu Emir langsung menumpahkan segala emosi yang beberapa waktu tadi terkurung di benaknya. Laki-laki ini yang memeluk gadisnya.

"Lo yang sialan!" bentak Fino yang langsung menghadiahkan Emir sebuah bogem mentah yang membuat sisi bibir kanan Emir pecah.

"lo berdua gila!" teriak Revo yang tiba-tiba datang menengahi mereka berdua diikuti Revo dibelakangnya. Sebenarnya Raka bisa saja membiarkan mereka membuat pertumpahan darah tapi masih ada yang lebih penting untung saat ini.

"Gue bakal perhitungan sama lo mir" ancam Fino penuh tekad dan penekanan dalam setiap katanya. Emir membuang muka kasar. Memang emir akui dia yang pengecut. Apalagi namanya laki-laki yang suka menggantungkan perasaan seorang wanita yang sudah hampir 3 tahun ini?

"Shut up!" teriak Raka sambil mendorong pundak Emir dan Fino.

"Lo masih mau berantem lagi? Silakan! Lo mau bunuh-bunuhan gue juga gak peduli. Gak ada ruginya buat gue, lagian kalo lo berdua koit, gue yang bisa sama Karin" terang Raka.

Emir dan Fino menoleh ke arah Raka cepat sambil memicingkan matanya. Sedangkan orang yang dihadiahi tatapan pembunuh itu hanya mengangkat bahunya cuek.

"Lo berdua... Kalo lo serius, lo buktiin ke Karin. Dan kita liat siapa yang pantes buat Karin" setelah menyampaikan pesan itu Raka langsung pergi ke mobil disusul oleh Emir dan Fino yang mengekori Raka. Tanpa disadari ada sepasang mata yang memperhatikan keributan mereka tadi. Tidak ada harapan lagi.


***
Perjalanan di Bandung berakhir hanya sampai malam itu, karen mereka tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mereka memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan Karin dibawa ke rumahnya Rena karena jika mereka pulang malam ini, orangtuanya Karin pasti akan khawatir.

"Ren, jaga Karin. Gue sama bocah pada mau balik dulu" pamit Raka ke Rena, Karin sudah tertidur di kamarnya Rena.

"Besok pagi gue jemput Karin" kata Emir,

"eh kutu kupret, apa-apaan lo! Gue yang jemput Karin" Fino menentang kalimat Emir

"Eh orang baru. Gue yang kenal keluarganya duluan. Jadi lo jangan banyak omong..." Emir kembali membalas perkataan fino tadi. Rena yang melihat tingkah llaki-laki di depannya hanya geleng-geleng kepala.

"Shut. Up! Lo semua berisik tau gak sih?" sela Raka diantara perdebatan dua makhluk tampan ciptaan Allah ini.

"Oke Ren, kita balik dulu. Selamat malam menjelang pagi Ren" pamit Revo sambil menepuk puncak kepala Rena. Emir, Fino, dan Raka hanya saling pandang lalu menatap Revo meminta jawaban. Sedangkan yang diperlakkan manis seperti itu hanya menunduk malu. Ajaib seorang Rena bisa seperti itu.

"Udah kek anak anjing lo Ren, di pukpuk gitu" ujar Raka dibalas oleh dengan pelototan dari Rena.

"Udah yuk pergi guys" ajak Fino yang sudah di depan mobil.

Malam yang panjang.

***

Tok... Tok... Tok

"Iya sebentar," teriakan Bi Odah hanya teriakan menicit. Dengan tergesa-gesa dia menuju pintu rumah ini. Ini masih dibilang pagi buta, karena jam masih menunjukan pukul 4.30 a.m. Siapa tamu di jam-jam segini?

Bi Odah melihat seorang pria yang umurnya terlihat sama dengan anak dari pemilik rumah ini, Rena. Tapi siapa laki-laki itu?

Dengan ragu Bi Odah membuka daun pintunya. "Permisi bi, maaf ganggu pagi-pagi gini" kata laki-laki itu,

"Mau apa pagi-pagi sekali kesini den?" tanya Bi Odah dengan ragu, 

"Saya mau menjemput teman saya yang menginap disini,"

Bibi Odah hanya menganggukan kepalanya namun tetap saja dia waspada, dan mungkin Laki-laki ini paham kalau asisten rumah tangga Rena tidak percaya dengannya.

"Oh saya teman sekolahnya, kebetulah tadi malam teman saya sakit akhirnya dibawa kesini dulu, orangtuanya sudah mencari dia" 

"Saya bangunkan non Rena dulu," Bi Odah mencoba menahan Pria itu namun pria itu berhasil memperdayakan Bi Odah.

"Jangan Bi, saya gak mau menganggu Rena istirahat" ujarnya lagi. Bi Odah hanya mengannguk dan menunjukan kamar Rena.

Dengan cepat tubuh Rena sudah berpindah ke gendongan laki-laki itu, lalu membawa masuk ke dalam mobilnya.

Huft, pekerjaanku sudah selesai.

***

Aku mengejapkan mataku perlahan. Sinar matahari menembus mataku, dan terasa sangat silau. Kepalaku berdenyut nyeri.

Ohh.

Dan tiba-tiba saja ingantanku berputar kembali pada kejadian tadi malam. Bandung.

Sialan.

Vania, Emir, dan Fino...?

Aku mengedarkan kepalaku ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak asing bagiku. Apa aku masih di Bandung?

Namun indra penciumanku mebuatku sangat terkejut. Bau ini...

LAUT??!!!

Gila. Kenapa dia tiba-tiba ada di pantai? 

Aku mencermati sekitarku lag. Kamar ini di dominasi kayu. Sangat membuat dirinya terasa nyaman untuk memandang interior disini. Kenapa disini sangat sepi? Kemana Rena, Vania, Emir. Raka, Fino, dan Revo?

Pikirannya berputar-putar menyebabkan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi.

Ceklek. 

Pintu kamar terbuka perlahan dan terlihatlah sosok laki-laki itu...

"Fino...?"

***

Dering handphone Emir kembali terdengar. Dengan malas Emir mengangkat handphone nya,

"Ada apaan...."

"KARIN ILANG" sebelum Emir menyelesaikan kalimatnya, Rena sudah lebih dulu berteriak. Dengan cepat emir mengambil langkah seribu menuju rumah Rena.

Tidak-tidak. Dia tidak akan kehilangan Karin lagi sekarang.

***
HUHUUUUU bentar lagi udah mau tamat. Sumpah ini sloe update bangetttt. Setahun ngepost cuma 2 -3 kali.

MAKASIHHHH BANGET YANG MASIH MAU BACAAAA.

AKU LUV KALIAND BINGGOW LAH.

Udah ah makin error. Jangan lupa baca cerita aku yang lain di wattpad yaaa. 



DAN TERAKHIRRRRR. HAPPY BIRTHDAY MAS MIREEEEEEEE. POKOKNYA MAKASIH FOR BEING MY INSPIRATION. Sukses terus kuliahnya mas!! 
XOXOXO

Saturday, February 21, 2015

Emir Love Story! Part 38

Karin memekik pelan, dilihatnya gaun yang sangat indah di hadapannya. Dia seperti menyadari sesuatu.
"Ah!" pekiknya lagi. Ini adalah gaun yang pernah ia coba saat menemani Rena fitting. Karin kembali ke alam sadarnya saat melihat ke arah jam, pk. 17.30. Karin langsung bergegas ke kamar mandi dan bersiap.

Sudah hampir 15 menit Karin mematung di depan cermin untung memastikan semuanya sudah siap. Ah, dia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Karin menambah polesan terakhir di bibirnya yang sesudahnya terdengar suara klakson mobil dari depan rumahnya. Karin melirik jam yang terpasang di meja belajarnya. Masih 15 menit lagi bukan?
"Karin, Emir udah nunggu kamu di bawah. Buruan turun yaa" panggilan Mamanya sudah terdengar dari lantai dasar, "Iya Mah" jawab Karin singkat sambil menutupi persaannya yang gugup
***
Emir tak lepas dari aktifitasnya yang hnya memandangi ujung sepatunya sambil menunggu gadisnya datang. Oh, Emir harus membetulkan kalimatnya tadi, calon gadisnya. Perlahan telinga Emir mendengar suara langkah kaki, dia menoleh dari sumber suar. Pandangannya terkunci pada seseorang yang daridulu sudah dia harapkan kehadirannya. Benar-benar perempuan yang sangat sempurna di matanya. Satu lambaian tangan langsung kembali menyadarkan Emir dari lamunannya. "Woi bengong mulu lo, gue cakep mah udah biasa" seru Karin sambil berkacak pinggang. Itu lah yang ditunggu Emir. Dengan cepat dia berdiri lalu mencubit batang hidup Karin, "Aww," Karin merintih pelan melihat ujung batang hidungnya sudah memerah. "Udah yok, berangkat aja" ajak Karin langsung menggamit tangan Emir. Emir masih diam ditempat, sambil berdeham pelan."Ohiyaaa, maaf maaf" Karin menepuk jidat nya, lalu elepaskan gamitan tangannya.
"Tante, saya izin ngajak Karin keluar dulu ya" izin Emir sambil mencium tangan Mama Karin, yang lalu diikuti oleh Karin.

Mobil Emir melaju di tengah padatnya Ibu Kota. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka sampai diatas sebuah gedung 56 lantai, tepat di tengah pusat kota Jakarta. Emir membawa Karin ke salah satu meja yang sudah di pesan Emir.
***
Pandangan Karin tidak lepas dari setiap sudut restaurant yang sekarang dia masuki. Badan Karin menegang. Nafasnya tertahan cukup lama. GILAAAA, batin nya dalam hati. Senggolan Emir di tangannya mengembalikan Karin ke alam sadarnya.
"Kenapa? Terlalu keren ya?" ujar Emir santai. Karin mendelikkan matanya. Mereka diselimuti oleh keheningan yang cukup panjang.
"Rin?" panggil Emir yang lagi-lagi memecah konsentrasi Karin,
"Kenapa Mir?" tanya Karin dengan suara pelan sambil menetralkan degup jantungnya yang sedari tadi terus berpacu.
"Ikut ke Bandung yok?" ajak Emir tiba-tiba. Jantungan dah lama-lama gue kalo semuanya ngagetin, batin Karin.
"Ih nggak gue culik kok Karinnnn. Gue udah izin ke orangtua lo" lanjut Emir lagi yang bisa langsung menebak apa yang ada di pikiran Karin.
"Terus? Apa kata mereka?" tanya Karin balik,
"they said....." tubuh Karin langsung menegakan tubuhnya ingin mendengar jawaban orangtua nya. Emir memajukan tubuh nya lagi hingga bibirnya sekarang tepat di telinga Karin,
"yes" bisik Emir lirih. Bisikan pelan yang langsung membuat Karin merinding dan melebarkan matanya. Emir memundurkan kembali kepalanya, dan kembali menanyakan keputusan Karin "Jadi, keputusan tinggal di lo". Salah satu pelayan restaurant tiba di meja mereka mengantarkan beberapa menu yang bisa dibilang cukup mahal. Mereka tersenyum ke arah pelayan, akhirnya pelayan itu berlalu.
"Gila lo Mir, mending kapan-kapan kita makan di pinggiran aja deh" Karin hanya geleng-geleng kepala melihat makanan yang tersaji di hadapannya,
"kalo udah sayang sih masalah harga udah gak gue urusin," ujar Emir sangat lirih, mungkin hanya dia sendiri yang bisa mendengar suaranya.
"Apa tadi kata lo?". Emir tidak menjawab pertanyaan Karin dan langsung menyantap hidangan hadapannya.
***
"Rin, balik yuk? Udah malam nih," ajak Emir sambil menatap jam tangan yang di pakai di pergelangan tangannya. Karin mengangguk pelan, mengiyakan ajakan Emir. Keheningan malam menyelimuti mereka saat perjalanan pulang. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Jakarta malam ini memangg cukup sepi karena jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam, perjalanan pulang pun tidak memakan waktu lama. Akhirnya mereka sampai di depan rumah Karin. Emir menghembuskan nafas nya panjang dan berat seperti berusaha melepaskan satu beban yang selama ini dia pendam. Pandangann masih fokus ke depan, tidak berani menatap gadis yang ada di sebelahnya. Sekarang, batin nya.
"Karin, gue mau jujur sama lo..." dia menarik nafas sekali lagi, "gue sayang sama lo, sayang banget. Mungkin cinta?" Emir menunduk, mencoba melanjutkan kalimatnya. Kalimat selanjutnya pasti akan merubah semuanya, bahkan sikap gadis itu.
"Would you be mine?" bisik nya lirih, dia menunduk lama sambil menunggu jawaban dari gadis yang ada di sampingnya. Jantungnya berdegup sangat cepat, menantikan jawaban gadis itu. Nafas yang dia hembuskan terasa lebih berat dari biasanya. Akhirnya,dia memberanikan diri untuk melihat gadis yang duduk di sebelahnya itu. Tertidur. Sial, batin Emir. Karin tertidur pulas di sebelahnya. Dia memperhatikan gadis itu. Setiap detail pesona yang ada di wajah itu. Karin terlihat sangat manis.

Emir tersenyum kecil.
***
From : Jemberlaye a.k.a Emir
Cepetan!! gue udah di depan sama anak-anak.

Kampret. Memalukan. Pake kesiangan lagi.

Karin berlari-lari kecil di dalam rumahnya. Ke meja makan, meminum susu hangatnya, menyambar bekal sarapannya, menyambar ransel nya dan langsung pamit ke orangtuanya. Mama Karin hanya menggeleng kecil melihat tingkah putri nya itu. "Mah, lain kali banguin aku dong. Kan kesiangan," sembur Karin sambil memakai converse nya dengan terbur-buru.
"You didn't tell me, by" sahut Mama singkat. Ini memang salah Karin karena tidak memberi tahu Ibu nya terlebih dahulu. Dengan jurus seribu bayangannya Karin melesat ke depan rumahnya. Disana sudah ada beberapa temannya.
Oh, ada Vania, batin Karin.
Entahlah ada perasaan aneh yang menyelundup saat mengetahui kalau Vania ikut liburannya bersama Emir. Memang bukaan hanya Vania yang ikut, tapi ada Revo dan Rena juga.

Di sepanjang perjalanan menuju Bandung mobil yang mereka tumpangi dipenuhi oleh celotehan Rena, yang sumpah mulutnya tidak bisa berhenti menghentikan omongan asalnya.
"Nalar lo kejauhan ege, Ren" timpal Emir saat Rena berceletuk tentang hubungan Karin dengan Emir selama di Singapur meskipun Rena tidak tahu tentang kebenarannya. Karin melirik ke arah Revo yang tertawa keras, dia juga melirik ke Vania. Vania memang tertawa, tapi tidak sekeras Revo dan matanya pun tidak memanarkan kalau wanita itu bennar-benar tertawa. Tawa yang menyayat hati-nya.

Tujuan pertama mereka adalah Lawangwangi Art and Science. Setelah berkeliling sebentar mereka akhirnya makan siang.
"Woi Mir!" Emir menengok ke sumber suara, "Woi, bro" Emir berlari menghampiri si empu nya suara itu. Raka menghampiri Emir yang juga berjalan ke arahnya disusul Fino di belakangnya. Kebetulan sekali, bukan?
"Wih, rame nih coy" sahut Raka, "Fin, kita gabung mereka aja yuk" ajak Raka lagi yang langsung dapat pelototan dari Fino. "Yaelah Fin, woles aja. Biar tambah rame" kata Emir membuat keputusan yang langsung mendapat persetujuan dari Vania dan Revo.
***
Karin Pov

Aku menyandarkan tubuhku sambil menatap hiruk pikuk kota Bandung. Ya kita sepakat untuk menghabiskan hari pertama di kota Bandung, lalu malam nanti kami akan menginap di daerah Lembang, dan besoknya kita langsung pergi ke daerah Ciwidey. Wacana sementara. Rombongan kami terbagi menjadi dua mobil. Mobil Emir isinya masih sama seperti tadi, dan di mobil satu lagi sudah tentu mobilnya Fino dan Raka. Ternyata Raka membawa sepupu perempuannya yang memang tnggal di Bandung untuk menemani mereka berkeliling. Tanpa terasa malam hari pun tiba, masih ada satu tempat lagi yang akan kami kunjungi. Bukit Bintang. Jujur saja, ini yang paling aku tunggu dari semua perjalan panjang kami hari ini. Pukul delapan malam kita sudah sampai di Bukit Bintang. Indah. Ohiya, pake banget. Ah gila ini mah. Cuma kata-kata itu yang ada di dalam pikiran ku Aku tidak henti-henti nya menggelengkan kepala ku. Kalau saja tidak ada yang menyiktku mungkin khayalanku ini sudah terbang kemana-mana. Aku mendongak menatap orang yang menyikutnya. Huh, Fino. "Kenapa sih?" tanya ku ketus, "...ngerusak khayalan gue aja" jelasku. Dia mendelik sebal "lo mikir macem-macem ya?" tuduhnya, "lo kira lo cenayang?" biarin aja aku buat Fino kesel. Lagian ngerusak acara aja sih. "kalo iya?"eit malah di balikin pertanyaanku. aku memutar bola mataku kesal sambil meninggalkan Fino. Aku berjalan ke arah warung kopi di depan ku, ku lihat Fino mulai beranjak ke tempatnya dan mencoba menyajari langkahku. 
"Kalo udah sampe Jakarta, temenin gue survey tempat" katanya tiba-tiba, "gue gak nerima penolakan" lanjutnya. Aku mendesis jengkel karenanya. Gila, itu perintah namanya.

Bodo ah. Akhirnya aku membeli secangkir kopi hitam, lalu kembali duduk diatas rumput. Ohiya, yang lain kemana ya? Aku sampai lupa. Kemana juga Emir? Aku mengedarkan pandanganku disana, 

DEG

Rasanya jantungku berhenti untuk sesaat saat melihat ke arah Emir. Dia memeluk Vania. Tanpa sadar aku merasakan bulir airr mata jatuh di pipiku. Aku mngusap air mataku kasar. Nafasku benar-benar memburu. Rasanya, sakit.
***
Normal Pov

Rahang Fino mengeras melihat wanita itu menahan tangisnya. Ingin rasanya dia membawa gadis itu ke pelukannya. Karin. Matanya menatap tajam objek yang membuat Karin menangis. Melihat adegan peluk-pelukanyya Emir-Vania membuat Fino sadar sesuatu. Sialan, batinnya.
"Bro?" lamunannya buyar karena mendengar sahabat karibnya itu memanggilnya. 
"Lo ngelamunin siapa sih?" tanyanya tepat sasaran. "Siapa"?  bukan "apa. Fino bergidik kecil membayangkan Raka bisa membaca pikirannya "eh Karin sendirian tuh. Temenin gidah. Gue, Revo, sama Tata lagi nongs lucu dulu ye. Bye" kata Raka singkat, yang setelah itu berlalu. Fino menghembuskan nafas kasar. Akhirnya dia memutuskan untuk menemani Karin.

"Hoy?" Fino menepuk pundak Karin. Gadis itu tidak bisa menutupi keterkejutannya saat Fino menegurnya. "Gak baik anak gadis bengong di tempat kayak gini"

Tak ada bakasan. Karin hanya menatapnya dalam diam.

"Kenapa?" tanya Fino lagi.

Tanpa di duga, Karin sudah menaruh kepalanya di dada FIni, dan.... menangis.


Sialan. Fino melirik ke arah Karin.

***
DAH AHHHHH.

Gila ya baru lanjut.

Sumpah sibuk abez wakakaka.

Yaudalaya.

 MAAF NIHHH readers readers tercintaaa

Doain gue semoga masuk PTN yaaaa lewat SNMPTN amiin amiin

Follow wattpad w.

jsufitaputri ada cerita baru tuhh

luvyuuu