Pages

Saturday, February 21, 2015

Emir Love Story! Part 38

Karin memekik pelan, dilihatnya gaun yang sangat indah di hadapannya. Dia seperti menyadari sesuatu.
"Ah!" pekiknya lagi. Ini adalah gaun yang pernah ia coba saat menemani Rena fitting. Karin kembali ke alam sadarnya saat melihat ke arah jam, pk. 17.30. Karin langsung bergegas ke kamar mandi dan bersiap.

Sudah hampir 15 menit Karin mematung di depan cermin untung memastikan semuanya sudah siap. Ah, dia tidak pernah merasa segugup ini sebelumnya. Karin menambah polesan terakhir di bibirnya yang sesudahnya terdengar suara klakson mobil dari depan rumahnya. Karin melirik jam yang terpasang di meja belajarnya. Masih 15 menit lagi bukan?
"Karin, Emir udah nunggu kamu di bawah. Buruan turun yaa" panggilan Mamanya sudah terdengar dari lantai dasar, "Iya Mah" jawab Karin singkat sambil menutupi persaannya yang gugup
***
Emir tak lepas dari aktifitasnya yang hnya memandangi ujung sepatunya sambil menunggu gadisnya datang. Oh, Emir harus membetulkan kalimatnya tadi, calon gadisnya. Perlahan telinga Emir mendengar suara langkah kaki, dia menoleh dari sumber suar. Pandangannya terkunci pada seseorang yang daridulu sudah dia harapkan kehadirannya. Benar-benar perempuan yang sangat sempurna di matanya. Satu lambaian tangan langsung kembali menyadarkan Emir dari lamunannya. "Woi bengong mulu lo, gue cakep mah udah biasa" seru Karin sambil berkacak pinggang. Itu lah yang ditunggu Emir. Dengan cepat dia berdiri lalu mencubit batang hidup Karin, "Aww," Karin merintih pelan melihat ujung batang hidungnya sudah memerah. "Udah yok, berangkat aja" ajak Karin langsung menggamit tangan Emir. Emir masih diam ditempat, sambil berdeham pelan."Ohiyaaa, maaf maaf" Karin menepuk jidat nya, lalu elepaskan gamitan tangannya.
"Tante, saya izin ngajak Karin keluar dulu ya" izin Emir sambil mencium tangan Mama Karin, yang lalu diikuti oleh Karin.

Mobil Emir melaju di tengah padatnya Ibu Kota. Tak butuh waktu lama akhirnya mereka sampai diatas sebuah gedung 56 lantai, tepat di tengah pusat kota Jakarta. Emir membawa Karin ke salah satu meja yang sudah di pesan Emir.
***
Pandangan Karin tidak lepas dari setiap sudut restaurant yang sekarang dia masuki. Badan Karin menegang. Nafasnya tertahan cukup lama. GILAAAA, batin nya dalam hati. Senggolan Emir di tangannya mengembalikan Karin ke alam sadarnya.
"Kenapa? Terlalu keren ya?" ujar Emir santai. Karin mendelikkan matanya. Mereka diselimuti oleh keheningan yang cukup panjang.
"Rin?" panggil Emir yang lagi-lagi memecah konsentrasi Karin,
"Kenapa Mir?" tanya Karin dengan suara pelan sambil menetralkan degup jantungnya yang sedari tadi terus berpacu.
"Ikut ke Bandung yok?" ajak Emir tiba-tiba. Jantungan dah lama-lama gue kalo semuanya ngagetin, batin Karin.
"Ih nggak gue culik kok Karinnnn. Gue udah izin ke orangtua lo" lanjut Emir lagi yang bisa langsung menebak apa yang ada di pikiran Karin.
"Terus? Apa kata mereka?" tanya Karin balik,
"they said....." tubuh Karin langsung menegakan tubuhnya ingin mendengar jawaban orangtua nya. Emir memajukan tubuh nya lagi hingga bibirnya sekarang tepat di telinga Karin,
"yes" bisik Emir lirih. Bisikan pelan yang langsung membuat Karin merinding dan melebarkan matanya. Emir memundurkan kembali kepalanya, dan kembali menanyakan keputusan Karin "Jadi, keputusan tinggal di lo". Salah satu pelayan restaurant tiba di meja mereka mengantarkan beberapa menu yang bisa dibilang cukup mahal. Mereka tersenyum ke arah pelayan, akhirnya pelayan itu berlalu.
"Gila lo Mir, mending kapan-kapan kita makan di pinggiran aja deh" Karin hanya geleng-geleng kepala melihat makanan yang tersaji di hadapannya,
"kalo udah sayang sih masalah harga udah gak gue urusin," ujar Emir sangat lirih, mungkin hanya dia sendiri yang bisa mendengar suaranya.
"Apa tadi kata lo?". Emir tidak menjawab pertanyaan Karin dan langsung menyantap hidangan hadapannya.
***
"Rin, balik yuk? Udah malam nih," ajak Emir sambil menatap jam tangan yang di pakai di pergelangan tangannya. Karin mengangguk pelan, mengiyakan ajakan Emir. Keheningan malam menyelimuti mereka saat perjalanan pulang. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Jakarta malam ini memangg cukup sepi karena jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam, perjalanan pulang pun tidak memakan waktu lama. Akhirnya mereka sampai di depan rumah Karin. Emir menghembuskan nafas nya panjang dan berat seperti berusaha melepaskan satu beban yang selama ini dia pendam. Pandangann masih fokus ke depan, tidak berani menatap gadis yang ada di sebelahnya. Sekarang, batin nya.
"Karin, gue mau jujur sama lo..." dia menarik nafas sekali lagi, "gue sayang sama lo, sayang banget. Mungkin cinta?" Emir menunduk, mencoba melanjutkan kalimatnya. Kalimat selanjutnya pasti akan merubah semuanya, bahkan sikap gadis itu.
"Would you be mine?" bisik nya lirih, dia menunduk lama sambil menunggu jawaban dari gadis yang ada di sampingnya. Jantungnya berdegup sangat cepat, menantikan jawaban gadis itu. Nafas yang dia hembuskan terasa lebih berat dari biasanya. Akhirnya,dia memberanikan diri untuk melihat gadis yang duduk di sebelahnya itu. Tertidur. Sial, batin Emir. Karin tertidur pulas di sebelahnya. Dia memperhatikan gadis itu. Setiap detail pesona yang ada di wajah itu. Karin terlihat sangat manis.

Emir tersenyum kecil.
***
From : Jemberlaye a.k.a Emir
Cepetan!! gue udah di depan sama anak-anak.

Kampret. Memalukan. Pake kesiangan lagi.

Karin berlari-lari kecil di dalam rumahnya. Ke meja makan, meminum susu hangatnya, menyambar bekal sarapannya, menyambar ransel nya dan langsung pamit ke orangtuanya. Mama Karin hanya menggeleng kecil melihat tingkah putri nya itu. "Mah, lain kali banguin aku dong. Kan kesiangan," sembur Karin sambil memakai converse nya dengan terbur-buru.
"You didn't tell me, by" sahut Mama singkat. Ini memang salah Karin karena tidak memberi tahu Ibu nya terlebih dahulu. Dengan jurus seribu bayangannya Karin melesat ke depan rumahnya. Disana sudah ada beberapa temannya.
Oh, ada Vania, batin Karin.
Entahlah ada perasaan aneh yang menyelundup saat mengetahui kalau Vania ikut liburannya bersama Emir. Memang bukaan hanya Vania yang ikut, tapi ada Revo dan Rena juga.

Di sepanjang perjalanan menuju Bandung mobil yang mereka tumpangi dipenuhi oleh celotehan Rena, yang sumpah mulutnya tidak bisa berhenti menghentikan omongan asalnya.
"Nalar lo kejauhan ege, Ren" timpal Emir saat Rena berceletuk tentang hubungan Karin dengan Emir selama di Singapur meskipun Rena tidak tahu tentang kebenarannya. Karin melirik ke arah Revo yang tertawa keras, dia juga melirik ke Vania. Vania memang tertawa, tapi tidak sekeras Revo dan matanya pun tidak memanarkan kalau wanita itu bennar-benar tertawa. Tawa yang menyayat hati-nya.

Tujuan pertama mereka adalah Lawangwangi Art and Science. Setelah berkeliling sebentar mereka akhirnya makan siang.
"Woi Mir!" Emir menengok ke sumber suara, "Woi, bro" Emir berlari menghampiri si empu nya suara itu. Raka menghampiri Emir yang juga berjalan ke arahnya disusul Fino di belakangnya. Kebetulan sekali, bukan?
"Wih, rame nih coy" sahut Raka, "Fin, kita gabung mereka aja yuk" ajak Raka lagi yang langsung dapat pelototan dari Fino. "Yaelah Fin, woles aja. Biar tambah rame" kata Emir membuat keputusan yang langsung mendapat persetujuan dari Vania dan Revo.
***
Karin Pov

Aku menyandarkan tubuhku sambil menatap hiruk pikuk kota Bandung. Ya kita sepakat untuk menghabiskan hari pertama di kota Bandung, lalu malam nanti kami akan menginap di daerah Lembang, dan besoknya kita langsung pergi ke daerah Ciwidey. Wacana sementara. Rombongan kami terbagi menjadi dua mobil. Mobil Emir isinya masih sama seperti tadi, dan di mobil satu lagi sudah tentu mobilnya Fino dan Raka. Ternyata Raka membawa sepupu perempuannya yang memang tnggal di Bandung untuk menemani mereka berkeliling. Tanpa terasa malam hari pun tiba, masih ada satu tempat lagi yang akan kami kunjungi. Bukit Bintang. Jujur saja, ini yang paling aku tunggu dari semua perjalan panjang kami hari ini. Pukul delapan malam kita sudah sampai di Bukit Bintang. Indah. Ohiya, pake banget. Ah gila ini mah. Cuma kata-kata itu yang ada di dalam pikiran ku Aku tidak henti-henti nya menggelengkan kepala ku. Kalau saja tidak ada yang menyiktku mungkin khayalanku ini sudah terbang kemana-mana. Aku mendongak menatap orang yang menyikutnya. Huh, Fino. "Kenapa sih?" tanya ku ketus, "...ngerusak khayalan gue aja" jelasku. Dia mendelik sebal "lo mikir macem-macem ya?" tuduhnya, "lo kira lo cenayang?" biarin aja aku buat Fino kesel. Lagian ngerusak acara aja sih. "kalo iya?"eit malah di balikin pertanyaanku. aku memutar bola mataku kesal sambil meninggalkan Fino. Aku berjalan ke arah warung kopi di depan ku, ku lihat Fino mulai beranjak ke tempatnya dan mencoba menyajari langkahku. 
"Kalo udah sampe Jakarta, temenin gue survey tempat" katanya tiba-tiba, "gue gak nerima penolakan" lanjutnya. Aku mendesis jengkel karenanya. Gila, itu perintah namanya.

Bodo ah. Akhirnya aku membeli secangkir kopi hitam, lalu kembali duduk diatas rumput. Ohiya, yang lain kemana ya? Aku sampai lupa. Kemana juga Emir? Aku mengedarkan pandanganku disana, 

DEG

Rasanya jantungku berhenti untuk sesaat saat melihat ke arah Emir. Dia memeluk Vania. Tanpa sadar aku merasakan bulir airr mata jatuh di pipiku. Aku mngusap air mataku kasar. Nafasku benar-benar memburu. Rasanya, sakit.
***
Normal Pov

Rahang Fino mengeras melihat wanita itu menahan tangisnya. Ingin rasanya dia membawa gadis itu ke pelukannya. Karin. Matanya menatap tajam objek yang membuat Karin menangis. Melihat adegan peluk-pelukanyya Emir-Vania membuat Fino sadar sesuatu. Sialan, batinnya.
"Bro?" lamunannya buyar karena mendengar sahabat karibnya itu memanggilnya. 
"Lo ngelamunin siapa sih?" tanyanya tepat sasaran. "Siapa"?  bukan "apa. Fino bergidik kecil membayangkan Raka bisa membaca pikirannya "eh Karin sendirian tuh. Temenin gidah. Gue, Revo, sama Tata lagi nongs lucu dulu ye. Bye" kata Raka singkat, yang setelah itu berlalu. Fino menghembuskan nafas kasar. Akhirnya dia memutuskan untuk menemani Karin.

"Hoy?" Fino menepuk pundak Karin. Gadis itu tidak bisa menutupi keterkejutannya saat Fino menegurnya. "Gak baik anak gadis bengong di tempat kayak gini"

Tak ada bakasan. Karin hanya menatapnya dalam diam.

"Kenapa?" tanya Fino lagi.

Tanpa di duga, Karin sudah menaruh kepalanya di dada FIni, dan.... menangis.


Sialan. Fino melirik ke arah Karin.

***
DAH AHHHHH.

Gila ya baru lanjut.

Sumpah sibuk abez wakakaka.

Yaudalaya.

 MAAF NIHHH readers readers tercintaaa

Doain gue semoga masuk PTN yaaaa lewat SNMPTN amiin amiin

Follow wattpad w.

jsufitaputri ada cerita baru tuhh

luvyuuu